Sabtu, 04 April 2009

Catatan Highlight Diskusi ’nBASIS "TANDA TANYA INDONESIA"

Ahmad Aswan Waruwu:
INDONESIA DALAM KEMEROSOTAN INDUSTRI DAN PERDAGANGAN


Banyak negara di Asia yang menjadi maju dan mampu mensejahterakan rakyatnya serta meningkat pula pengaruhnya dalam percaturan dunia dalam waktu yang relatif singkat. Kondisi itu tidak didasarkan pada angan-angan, melainkan kepemimpinan nasional yang visioner, kompeten, memiliki sense of enterpreneurship, berani, percaya diri dan, tentu, bersemangat kemandirian yang tidak dibuat-buat. Kita memerlukan itu semua, sembari melakukan optimalisasi potensi ekonomi nasional untuk kesejahteraan rakyat secara keseluruhan.

Kepemilikan atau dominasi modal asing atas industri nasional semakin kuat. Ini menyebabkan perekonomian nasional pincang. Pada gilirannya pertumbuhan ekonomi pun dapat terancam stagnan atau bahkan terpuruk. Efek dominonya bisa amat luas dalam lapangan kehidupan sosial maupun politik. Sektor-sektor yang didominasi asing itu terutama adalah retail. Menjamurnya pasar swalayan skala besar dan pusat perbelanjaan baru milik asing menjadi salah satu bukti untuk itu.

Demikian Ahmad Aswan Waruwu pada diskusi Tanda Tanya Indonesia yang diselenggarakan oleh ’nBASIS baru-baru ini di Medan.

Menurut Mhd Aswan Waruwu, industri rokok dan batik yang dahulu dikuasasi oleh modal lokal, kini sudah beralih ke tangan asing. Mengapa terjadi demikian? Dominasi asing itu adalah fungsi dari regulasi yang dilahirkan pemerintah. Pemerintahlah yang membuka peluang besar dan tidak selektif dalam proses pemberian izin investasi. Jika investasi itu tidak memicu penyerapan tenaga kerja yang memadai, hanyalah dikarenakan sifat modal asing yang padat modal dan padat teknologi. Mengereka memang ingin mengejar keuntungan besar dengan efisiensi yang amat ketat.

Pada bagian lain calon anggota DPRD Sumut No urut 2 dari Partai Amanat Nasional (Taput, Tobasa, Samosir, Humbahas, Sibolga dan Tapteng) ini mengatakan, dampak yang paling terasa ialah pada pasar-pasar tradisional. Keberadaan pasar tradisonal beberapa tahun belakangan ini semakin tergilas oleh maraknya hipermarket dan minimarket yang tumbuh subur. Dalam bersaing dengan pemodal asing, pasar tradisonal itu tentu tak berdaya. Bukan hanya unggul dalam modal dan teknologi, tetapi lobby-lobby kepada pembuat kebijakan untuk memberi pemihakan kepada mereka jelas diungguli oleh modal asing, begitupun soal keluasan dan kekuatan jaringan. Di Jakarta misalnya saat ini diperkirakan sekitar 80 % pasar tradisional mengalami kegoncangan hebat, kurang mampu tumbuh karena minim keuntungan. Itu sebabnya beberapa pasar tradisional saat ini bahkan sudah diisi oleh produk asing.

Kita sudah mencatat berapa lama penguasaan pasar internasional di Indonesia seperti carrefour dan giant (Hongkong). Menurut Bank Dunia tidak ada supermarket di manapun di dunia yang begitu tergantung kepada produk impor seperti apa yang menjadi kenyataan di Indonesia. Menurut catatan sekitar 60 % sayur mayur dan buah-buahan yang di jual di jaringan supermarket di Indonesia adalah produk impor (Natawidjaja, 2006). Angka ini 2-3 kali lebih besar dari produk impor yang dipasarkan di supermarket yang ada di Thailand, Meksico, Cina dan Guatemala.

Aswan amat optimis, di tangan pemerintahan yang bijak Indonesia bisa berubah. Amat diperlukan perubahan paradigma dalam pembangunan industri dan perdagangan. Indonesia itu sebuah negara besar. Sumberdaya alam dan sumberdaya manusianya melimpah, begitu pun sumberdaya pendukung.


Noted & Reported by: Ikhtiyar ZNS,
Divisi Jaringan nBASIS

Catatan Highlight Diskusi ’nBASIS ”TANDA TANYA INDONESIA"

Panji Ikhwan Nasution:
RENDAHNYA PENDAPATAN PERKAPITA


Pendapatan perkapita di tengah besarnya Hutang Luar negeri, adalah salah satu masalah besar dalam memperjuangkan peningkatan kesejahteraan rakyat.
Di tengah kondisi itu gagasan membangun Indonesia bermartabat menjadi sesuatu yang mustahil, apalagi iklim penuh ketergantungan kepada negera-negara besar semakin menjadi-jadi.

Pada pertengahan tahun 1960-an GNP perkapita Indonesia, Malaysia, Thailand, dan Taiwan nyaris sama, yakni kurang dari 100 dollar US. Cina bahkan jauh lebih rendah, yakni sekitar 50 dollar US perkapita. Namun pada tahun 2005 GNP perkapita Indonesia hanya sekitar 1.260 dollar US, Malaysia 4 kali lebih besar, Korea Selatan 13 kali lebih besar, Thailand 2 kali lebih besar, Taiwan 12 kali lebih besar dan bahkan Cina telah semakin jauh meninggalkan Indonesia. Kini gambaran GNP perkapita Indonesia semakin jauh menurun, yakni hanya 810 dollar US perkapita.

Demikian Panji Ikhwan Nasution, caleg Nomor urut 8 untuk DPRD Kabupaten Deliserdang dari Dapem Percut Sei Tuan, Partai Amanat Nasional. Hal itu terungkap dalam Diskusi ’nBASIS ”Tanda Tanya Indonesia” baru-baru ini di Medan.

Menurut catatan ’nBASIS, dalam hal pendapatan percapita Indonesia berada pada urutan menyedihkan di antara negara-negara serumpun. Begitu pun tidak terlihat gegas untuk mengubah keadaan, dan pemerintah terus-menerus melakukan politik citra untuk mendongkrak popularitas dan elektibilitas. Angka-angka statistik polling yang dikeluarkan oleh lembaga jasa survei, sama sekali tidak mampu merubah keadaan.

Menurut Panji Ikhwan yang terjun ke dunia politik karena ketertarikan sistem suara terbanyak yang mula-mula dipastikan oleh PAN untuk pemilu 2009, posisi tingkat pertumbuhan PDB Indonesia di Asean menempati urutan keenam setelah Kamboja (10,8 %), Vietnam (8,2 %), Singapura (7.9 %) Myanmar (7,0%), dan Malaysia (5,9 %), sedangkan Indonesia pada angka 5,6 %. Dalam kaitan dengan ekonomi, tentu peran perbankan selalu sangat penting. Namun berdasarkan catatan kinerjanya, selama ini arsitektur Perbankan Indonesia (API) selalu bersifat rancu. Pemerintah memberikan arahan yang berubah-ubah, perbankan semakin tidak ramah terhadap rakyat kecil. Sekitar 65 % kepemilikan perbankan swasta nasional ternyata berada di tangan pihak asing.

Dana mengalir sedemikian rupa dari daerah di tingkat terendah menuju pusat bisnis. Harap dicatat bahwa fungsi intermediasi perbankan mengalami gangguan fungsi yang serius akibat konsentrasi kredit pada proyek-proyek besar dan tidak menyentuh kebutuhan ekonomi kerakyatan. Dengan demikian struktur usaha berdasarkan kucuran kredit lebih memihak kepada usaha korporasi ketimbang usaha mikro.

Utang luar negeri Indonesia sudah sangat besar hingga nilainya nyaris dengan PDB (2001-2005). Kewajiban pembayaran utang itu dari tahun ke tahun dengan sendirinya menguras devisa. Bunga pinjaman telah terakumulasi hingga menyita 1/3 pembayaran utang sehingga menjadi beban tersendiri pula, dan dalam 20 tahun terakhir cicilan pokok dan bunga utang telah menyedot hampir separo dari pengeluaran rutin dalam anggaran pembangunan.

Pendapatan perkapita di tengah besarnya Hutang Luar negeri, adalah salah satu masalah besar dalam memperjuangkan peningkatan kesejahteraan rakyat. Di tengah kondisi itu gagasan membangun Indonesia bermartabat menjadi sesuatu yang mustahil, apalagi iklim penuh ketergantungan kepada negera-negara besar semakin menjadi-jadi.

Noted & Reported by: Ikhtiyar ZNS,
Divisi Jaringan nBASIS

USULAN 3 MILYAR REHABILITASI BAGAS GODANG

Algemene Vertegenwoordiger Erfgenaam van Dja Baoen Siripok Bagas Rijk. Siapa yang tahu menterjemahkan kalimat "Londo" itu ke bahasa hitaan? Pengampu (atau pewaris?)Dja Baoen Sipirok Bagasgodang yang rinciannya terbagi ke dalam tiga keturunan Dja Lalo & Dja Somalap & Dja Hinoendang. Begitulah kira-kira.

Merasa prihatin dengan kondisi warisan Bagasgodang di Sipirok yang sudah lama kurang terurus, Dharma Indra Siregar memberanikan diri tampil menjadi kuasa dari para ahli waris untuk mengupayakan pemuliaan warisan ini. Mula-mula ia dapatkan kesepakatan bulat dari mereka yang berwenang secara hukum maupun kekerabatan: Tuongku Rahmat Panutur Siregar (75 tahun); Rasyid Soaduon Siregar, BA (74 tahun)dan Drs.Ahmad Raja Thamrin Siregar (58 tahun).

Tindakan awal ialah melakukan lobby ke mana-mana. Salah satu lobby yang sedang giat dilancarkan ialah mendapatkan 3 milyar dari APBD Sumatera Utara untuk rehabilitasi Bagas Godang Sipirok. Usulan sudah masuk ke Gubernur Smatera Utara.

Dharma Indra Siregar yang juga tokoh Angkatan 66 Sumatera Utara ini merasa usulannya sebuah keniscayaan saja. Mengapa tidak? Ini negara negara kita, bangsa bangsa kita. Apa yang salah ketika para pewaris seolah tak berkemauan mengapresiasi warisan leluhur? tanya tokoh intelektual yang bertype self study ini bersemangat.

Hal-hal yang perlu menjadi agenda mendesak Dharma Indra Siregar tentulah meyakinkan Gubernur Sumatera Utara dan DPRD Sumatera Utara. Sulitkah itu? Dharma Indra Siregar yang biasanya kaya improvisasi ini tentu akan melakukan segala kemampuan diplomasinya
untuk ini.

Aha dope dongan (what do you waiting for).

PERNYATAAN SIKAP MASYARAKAT TAPANULI SELATAN

IBU KOTA TAPSEL: SIPIROK, KECAMATAN SIPIROK, KOTA SIPIROK (?)

Telaahlah barang sekilas saja. Surat ini bukan "pandelean" apalagi agitasi. Tak harus diterjemahkan lain kecuali Ajuan Aspirasi yang mustahak.


Kami masyarakat Kabupaten Tapanuli Selatan yang berada di Bonapasogit dengan ini menyatakan sikap sebagai berikut:

1. Saudara Bupati Tapanuli Selatan untuk segera melaksanakan pemindahan ibukota Kabupaten Tapanuli Selatan ke Kota Sipirok sesuai dengan UU No 37 Tahun 2007 selambat-lambatnya tanggal 10 Pebruari 2009.

2. Apabila saudara Bupati tidak melaksanakan, maka masyarakat Kabupaten Tapanuli Selatan dengan ini menyatakan:

~ Bahwa Bupati Tapanuli Selatan Ir H Ongku Parmonangan Hasibuan tidak mampu melaksanakan amanat UU no 37 Tahun 2007, khususnya pasal 21 dan untuk itu kami mencabut dukungan terhadap Saudara Bupati Tapanuli Selatan.

~ Bahwa kami masyarakat Kabupaten Tapanuli Selatan akan bertindak segera memindahkan pusat pemerintahan ke Kota Sipirok sesuai UU No 37 Tahun 2007.

Demikianlah pernyataan sikap ini disampaikan.

Sipirok, 27 Desember 2008
Masyarakat Kabupaten Tapanuli Selatan:
1. Kecamatan Sipirok, Siddik Suherman.
2. Kecamatan S Dolok Hole, Hamdani Siregar.
3. Kecamatan Arse, Syahrum Pohan.
4. Kecamatan Aek Bilah, Abdul Muis Pasaribu.
5. Kecamatan Angkola Selatan, Asmara Darma.
6. Kecamatan Angkola Barat, Bayasid Siregar
7. Kecamatan Muara Batangtoru,
8. Kecamatan Sayur Matinggi, Pardomuan.
9. Kecamatan Angkola Timur, Sarpin.
10. Kecamatan Marancar, James Siregar.
11. Kecamatan Batang Angkola, Bahrum.
12. Anggota DPRD Kab Tapsel, H.A.Syamsir.

Catatan Highlight Diskusi ’nBASIS "TANDA TANYA INDONESIA"

Hafnida Dalimunthe:
Krisis Kehutanan dan Lingkungan Sudah Pada Level
Mengkhawatirkan Dunia


Pengelolaan SDA sangat serampangan. Pertamina sebagai BUMN sistem keuangannya sangat primitif, karena tidak membuat cash flow untuk perhitungan bisnisnya. Sementara sudah sedari lebih 30 tahun potensi dan pemasukan dari sektor kelautan tidak pernah diukur atau diperhitungkan dalam pemasukan devisanya.

Hutan memainkan peranan penting dalam menjaga keseimbangan ekologis juga sebagai sumber mata pencaharian bagi sejumlah besar orang. Di Indonesia sekitar 36 juta orang hidup dengan penghasilan di bawah garis kemiskinan nasional (berpenghasilan kurang dari 1, 55 dollar US per hari, atau bahkan kurang dari itu). Mereka yang tinggal di atau dekat hutan berjumlah lebih dari 10 juta orang, seringkali sangat kekurangan. Kerusakan hutan terus melaju dengan mengorbankan rakyat terutama bagi mereka di atau dekat hutan dan lingkungannya.

Demikian Hafnida Dalimunthe dalam salah satu bagian ceramahnya pada Diskusi ’nBASIS bertema ”Tanda Tanya Indonesia” yang diselenggarakan baru-baru ini di Medan.

Hafnida Dalimunthe, seorang jurnalis yang terjun ke dunia politik lewat pencalonan untuk DPRD Provinsi Sumatera Utara dari daerah pemilihan Labuhan Batu dengan ”menumpang kreta” Partai Amanat Nasional ini menuturkan bahwa menurut Departemen Kehutanan (20 Agustus 2006) Indonesia memiliki hutan seluas 120,35 juta ha (atau 62,6 % dari luas daratan) yang memiliki keunikan spesifik, karakteristik dan kekayaan mega-biodiversity nomor 3 setelah Brazil dan Kongo.

Sayangnya, kata alumni FISIPOL UMSU ini,, laju kerusakan hutan periode 1985 s/d 1977 rata-rata 1,6 juta ha pertahun. Sedangkan dalam 3 tahun periode 1997-2000 rata-rata 2,83 juta ha per tahun. Jadi, kata Hafnida yang lazim dipanggil ”Nona” ini, Indonesia termasuk negara dengan laju deforestasi amat cepat jika dibandingkan dengan negara-negara lain. Jika dirinci, setiap jamnya kawasan hutan Indonesia lenyap seluas 3000 lapangan sepakbola, bahkan sekitar 4,5 juta ha. Itu sama dengan 2 % dari total kawasan hutan kita. Tahun 2006, laju kerusakan hutan di Indonesia sudah mencapai 2,72 juta ha, tegas Hafnida.

Di tengah kondisi hutan yang semakin kritis, desakan untuk moratorium penebangan dan moratorium konversi lahan dari organisasi lingkungan masyarakat dan DPR tidak kunjung ditanggapi oleh pemerintahan SBY-JK. Bersamaan dengan tragedi kerusakan hutan ini, persoalan konversi lahan terus meningkat. Khususnya di kawasan ekologis penting seperti lahan gambut yang beralih menjadi kebun akasia dan kelapa sawit, atau kawasan pesisir yang terus menerus terkena laju abrasi tinggi dan terumbu karang yang mengalami kerusakan amat hebat.

Pertambangan yang destruktif terhadap lingkungan masih saja bebas mencemari sungai, laut dan udara. Semburan Lavindo sebagai suatu drama perusakan sepanjang abad juga tidak mampu ditanggulangi oleh pemrintahan SBY-JK dengan baik. Lingkungan hidup selama 3 tahun pemerintahan SBY-JK tidak pernah memegang posisi kunci dalam pertimbangan untuk melakukan apa saja dari keseluruhan agenda pemerintahan.

Menurut catatan ’nBASIS motivasi pengelolaan SDA amat buruk di Indonesia. Pengurasan SDA masih berlangsung tanpa batas dan dijadikan sebagai modal ekonomi utama tanpa mampu mengembangkan industri non ekstraktif (terbarkan). Ini menunjukkan mentalitas rent sicker dan kompradorship yang menguat setelah dilaksanakan sistem ekonomi terbuka dan kegagalan dalam tranformasi budaya. Pencurian pasir dan perdagangan pasir berlangsung amat tidak adil, karena 1 kubik pasir laut hanya dibayar 10 % saja dari harga normal. Hal ini dikarenakan bahwa Singapura punya definisi tentang bahan pasir yang khusus. Pencurian kayu lain lagi, berlangsung sangat ironis. Masyarakat hanya mendapat pungutan sekitar Rp 40-50 ribu per truck. Sementara puluhan juga dinikmati oleh penadah kayu curian di Malaysi. Malaysia bahkan terkenal sebagai salah satu negara eksportir kayu terbesar di dunia meskipun sebetulnya kayu itu berasal dari Indonesia.

Praktik pengelolaan SDA memang amat buruk. Indonesia selama ini tidak memberi insentif memadai terhadap pengembangan industri berbasis SDA terbarukan (pertanian, kehutanan, kelautan perikanan, pariwisata, dan ESDM). Bunga Bank untuk industri berbasis SDA di Australia, Malaysi dan Thailand hanya berkisar sebesar 2,5 s.d 7 %; sedangkan perbankan Indonesia mematok suku bunga sebesar 15 % setiap tahun dengan prosedur yang lebih rumit.

Kerugian akibat salah urus dalam pengelolaan SDA seperti pertanian, kehutanan dan kelautan adalah sebesar 30 trilyun setiap tahun. Salah urus tersebut telah menimbulkan degradasi sumberdaya lahan dan air. Hal itu setara dengan APBN tahun 2004 dari 3 departemen (Pertanian, Kehutanan, Perikanan dan Kelautan) yang masing-masing sebesar tidak kurang dari 7,5 triliun. Daerah yang menguras SDA berupa batubara sangat pasti penurunannya. Pada tahun 1977 produk batubara Sumatera Barat sebesar 2,5 juta ton. Tahun 1999 sebesar 1,99 juta ton, tahun 2001 sebesar 1,1 juta ton dan tahun 2003 hanya sisa memproduksi 916000 ton. Bagaimana strategi keluar dari penurunan dari produksi ini sementara lingkungan dan potensi SDA lainnya sudah terlanjur rusak.

Indonesia bermartabat amat mendambakan lingkungkungan dan SDA yang lestari untuk masyarakat disini dan juga masyarakat dunia, tidak saja untuk kini tetapi juga untuk nanti. Bagaimana membuat negara dan pemerintahan mau dan mampu jujur menjalankan misi untuk penyelamatan lingkungan, kiranya menjadi salah satu cara untuk menjadi sebuah bangsa yang bermartabat. Mengembalikan negara dan pemerintahan kepada makamnya hanya dapat diperjuangkan oleh negarawan sejati yang pengabdiannya bukan basa-basi.

Noted & Reported by: Ikhtiyar ZNS,
Divisi Jaringan nBASIS

Catan Highlight Diskusi 'nBASIS "TANDA TANYA INDONESIA"

Ibrahim Sakty Batubara:
MENAGIH JANJI PEMERINTAH KEPADA ORANG MISKIN
DAN PARA PENGANGGUR


Salah satu fungsi utama negara Indonesia ialah memerdekakan warga dari kemiskinan. Adalah hak bagi setiap warga negara untuk memperoleh pekerjaan, penghasilan dan penghidupan layak. Konstitusi kita memang tegas-tegas memerintahkan bahkan fakir miskin dan anak-anak terlantar untuk menjadi tanggungjawab negara.

Pada awal pemerintahannya SBY-JK menjanjikan penurunan jumlah orang miskin dan pengangguran dalam 5 tahun, tegas Ibrahim Sakty Batubara mengingatkan Kampanye Pilpres 2005 lalu. Kata Ibrahim Saktybatubara, SBY-JK bahkan menargetkan angka kemiskinan menjadi 8 % dari total penduduk pada akhir masa jabatan tahun 2009. Tetapi fakta dan data yang ada menunjukkan kegagalan pemerintahan SBY-JK dalam hal memerangi kemiskinan dan mengurangi jumlah pengangguran. Angka kemiskinan dan pengangguran malah semakin meningkat meski dana program populis yang disalurkan kepada rakyat amat fantastis.

Mengapa tidak ada korelasi antara dana besar yang digelontorkan dengan perbaikan tingkat kemiskinan dan pengangguran? Kemungkinan besar terletak pada dua hal utama. Pertama, tingkat dan kualitas amanah yang amat diragukan pada jaringan birokrasi hingga terjadi penyimpangan yang amat serius. Kedua, penentuan program yang tidak didasarkan pada kecukupan data dari masyarakat hingga pemerintah memberi kucing padahal masyarakat butuh kambing, tegas Ibrahim Sakty Batubara.

Menurut catatan ’nBASIS, angka kemiskinan (2006) masih 17, 75 % dan angka pengangguran 10, 14 %. Menurut Tim Indonesia Bangkit, hasil studi uji coba instrumen proxy kemiskinan BPS & ADB, inflasi dihadapi kelompok miskin (2005) ternyata hampir dua kali lipat dari inflasi nasional. Artinya, tambahan beban dihadapi kelompok miskin dua kali lebih besar dari rata-rata nasional. Akibatnya angka kemiskinan Maret 2006 telah meningkat hingga 22, 9 %.

Tim Indonesia bangkit juga menunjukkan bahwa pada tahun pertama pemerintahan SBY-JK angka pengangguran justru membengkak menjadi 10. 3 % dan pada tahun 2006 menjadi 11,0%. Hasil diskusi KOMPAS (2007) menunjukkan angka pengangguran dari 8,1 % (2001) menjadi 9,9 % (2004), 10,3 % (Februari 2005), 11,2 % (November 2005), 10,5 % (Februari 2006). Pertumbuhan ekonomi rata-rata4,6 % pasca krisis diperkirakan hanya dinikmati oleh 40 % golongan menengah dan 20 % golongan terkaya. Sementara keberadaan 40 % golongan termiskin terus menurun sejak tahun 2005.

Data BPS (Juni 2007) menunjukkan jumlah pengangguran 10, 55 juta orang, sedangkan jumlah penduduk miskin 37, 17 juta orang. Mengacu pada data BPS tahun-tahun sebelumnya, penduduk miskin Indonesia mencapai 38,7 juta tahun 2001, 37, 9 juta tahun 2002, 38, 4 juta tahun 2003, 36,1 juta tahun 2004, 35, 1 juta tahun 2005 dan 39,05 juta tahun 2006. Menurut sumber lain terdapat jumlah angkatan kerja (15-60 tahun) terdiri dari laki-laki 67.672.558 perempuan 38.609.237. Angka pengangguran terbuka 10, 45 %

Menurut Sekjen PDIP Pramono Anung, dalam era reformasi ini baru sekarang ada peningkatan kemiskinan yang drastis. Tahun 2005 kemiskinan berjumlah 35 juta orang, tahun 2007 menjadi 39 juta orang. Pengangguran pun meningkat dari 10, 58 % menjadi 11, 1 %. Data BPS 2006 menunjukkan pengangguran terbuka mencapai 11.104.693 orang. Berdasarkan taraf pendidikan para penganggur, jumlah penganggur yang berpendidikan SD ke bawah 3.524.884 orang, SMP sebanyak 2.860.007 orang, SMA 4.047.016 orang, selebihnya berpendidikan perguruan tinggi.

Noted & Reported by: Ikhtiyar ZNS,
Divisi Jaringan nBASIS

SURAT (TERAKHIR) ABDUL AZIZ ANGKAT

PELAKSANAAN UU NO 37 TAHUN 2007

Orang Sipirok pasti lebih cepat setuju jika dikatakan bahwa inilah surat terakhir yang ditandatangani oleh almarhum Abdul Aziz Angkat, Ketua DPRD Sumatera Utara yang meninggal dalam tragedi demo maut protap tanggal 3 Februari 2009.

Surat itu bertanggal 29 Januari 2009, bernomor 377/18/Sekr, ditujukan kepada Gubernur Sumatera Utara dengan tembusan Bupati Tapanuli Selatan dan Forum Komunikasi Masyarakat Kabupaten Tapanuli Selatan. Bunyi selengkapnya:

Butir pertama, Dengan hormat, sehubungan dengan surat Forum Komunikasi Masyarakat Kabupaten Tapanuli Selatan Nomor: 04/FKMKTS-01/2009, tanggal 6 Januari 2009, perihal: Pelaksanaan UU No 37 Tahun 2007 pasal 21 ayat 1 dan 2.

Butir kedua, Dari hasil pertemuan DPRD Provinsi Sumatera Utara dengan Forum Konsultasi Masyarakat Kabupaten Tapanuli Selatan, maka dengan ini diminta kepada Saudara Gubernur Sumatera Utara untuk mendorong Pemerintah Kabupaten Tapanuli Selatan agar dapat mentaati dan melaksanakan pemindahan Ibu Kota Tapanuli Selatan yang berkedudukan di Sipirok merupakan Pusat Pemerintahan Kabupaten Tapanuli Selatan sesuai pasal 1 dan 2 Undang-undang Nomor 37 Tahun 2007.

Butir ketiga, Demikian kami sampaikan, atas perhatiannya diucapkan terima kasih.


Apa respon Gubernur Sumatera Utara?

Sehubungan dengan surat Ketua DPRD Provinsi Sumatera Utara Nomor 377/18/Sekr tanggal 29 Januari 2009 perihal Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2007, yang merupakan tindaklanjut surat Forum Komunikasi Masyarakat Kabupaten Tapanuli Selatan Nomor 04/FKMKTS/01/2009 tanggal 6 Januari 2009 perihal Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2007 pasal 21 ayat (1) dan (2), untuk itu diminta kepada Saudara hal-hal sebagai berikut:

Butir pertama, Dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2007 tentang Pembentukan Kabupaten Padang Lawas Utara di Provinsi Sumatera Utara dan Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembentukan Kabupaten Padanglawas di Provinsi Sumatera Utara, maka segala ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang tersebut mempunyai konsekuensi yang mengikat, baik bagi Pemerintah Kabupaten Padang Lawas Utara, Padang Lawas maupun Tapanuli Selatan.

Butir kedua, Sesuai pasal 21 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2007 dan Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2007 yang mengatur tentang ibukota Kabupaten Tapanuli Selatan berkedudukan di Sipirok dan dilaksanakan paling lama 18 bulan, untuk itu diminta kepada Saudara segera melaksanakan ketentuan dimaksud.

Butir ketiga, Melaporkan setiap perkembangan dan kemajuan penanganan perpindahan ibukota Kabupaten Tapanuli Selatan ke Sipirok kepada Gubernur Sumatera Utara.

Surat bertanggal 18 Februari 2009, bernomor 130/1157 itu ditujukan kepada Bupati Tapanuli Selatan. Dibubuhi tandatangan Gubernur Sumatera Utara H.Syamsul Arifin, SE dan cap jabatan, diberikan juga tembusan kepada Menteri Dalam Negeri di Jakarta, Ketua DPRD Kabupaten Tapanuli Selatan di Padangsidempuan, dan Ketua Forum Komunikasi Masyarakat Kabupaten Tapanuli Selatan di Medan.

Tanggal 6 Januari 2009 Forum Komunikasi Masyarakat Kabupaten Tapanuli Selatan melayangkan surat, tanggal 29 Januari direspon oleh Ketua DPRD Sumatera Utara, dan tanggal 18 Februari 2009 Gubernur Sumatera Utara memberi respon.

Apa respon Bupati Ongku P Hasibuan? Tidak begitu jelas. Apakah karena surat Ketua DPRD Sumatera Utara dan Gubernur Sumatera Utara itu bersifat amat normatif hingga memang harus diabaikan saja oleh Bupati Tapanuli Selatan Ongku P Hasibuan? Tidak ada yang tahu, yang jelas Wakil Bupati Aldinz Rapolo Siregar sudah kadung bertindak: pindah kantor ke Sipirok untuk memenuhi kemauan Undang-Undang.

Jumat, 03 April 2009

Catatan Highlight Diskusi 'nBASIS: TANDA TANYA INDONESIA

Ibrahim Sakty Batubara:
WAJIB MENGATASI KRISIS PANGAN

Indonesia tumbuh sebagai bangsa kurang percaya diri di sektor pertanian. Sebagian besar produk pangan untuk kebutuhan warganya dipenuhi dari impor. Padahal dengan mengandalkan lahan tropis yang sangat luas, bangsa ini seharusnya mampu memenuhi kebutuhan pangan dari hasil kerja petaninya. Tekad bangsa Indonesia menjadi bangsa yang mandiri di bidang pangan merosot. Pemerintah dan masyarakat semakin ragu atas kepercayaan diri dalam bidang pangan.

Ibrahim Sakty Batubara dengan wajah penuh heran menyergah di awal ceramahnya: ”Sulit sekali meyakinkan Indonesia atas keunggulan komparatifnya sendiri dibanding dengan negara lain. Atas dasar keungulan komparatif tadi seyogyanyalah paradigma ketahanan pangan berbasis kemandirian pada kekuatan sumber daya alam (SDA) dan komunitas petani Indonesia itu sendiri termasuk dalam prioritas unggulan. Itu tidak cukup terdokumentasi dalam catatan kenegaraan, melainkan wajib diikuti dengan proporsi alokasi anggaran yang rasional.

Ibrahim Sakty Batubara adalah seorang legislator (DPRDSU) dari Partai Amanat Nasional yang kini mendapat nomor urut 1 untuk pencalonan ke DPR-RI dari Sumut 1 (Medan, Deliserdang, Serdangbedagai dan Tebingtinggi).

Idealnya, menurut mantan dosen Kopertis Wilayah I ini, pemerintah harus mampu menjamin kedaulatan pangan bagi petani kecil, miskin dan ketersediaannya (pangan) sekaligus. Kini, Indonesia sedang mengalami krisis pangan. Harga sembako seperti beras, gula dan minyak goreng semakin tidak terjangkau oleh daya beli rakyat. Akibatnya, prahara sektor pangan dan gizi buruk merebak di berbagai daerah. Sektor pertanian tidak mampu menyejahterakan petani. Data BPS menunjukkan, pertumbuhan sektor pertanian dari 4,1% pada 2004 menjadi 3,0% pada 2006. Pangsa PDB pertanian menurun dari 15,5% pada 2004 menjadi 13,0% pada 2006.


Masalah Swasembada Pangan

Menurut catatan Ibrahim Sakty Batubara, Indonesia kehilangan swasembada pangan disertai fenomena penurunan produksi beras yang tak terhindari. Produksi gabah kering pada tahun 2007 direncanakan hanya 53,1 juta ton atau turun 1,2 juta ton jika dibandingkan pada 2006. Indonesia yang karena jumlah penduduknya menduduki posisi sebagai raksasa pasar pangan telah sekaligus menjadi incaran produsen asing. Oleh karena itu menjadi amat ironis ketika Indonesia menjadi pengimpor hasil pertanian/pangan terbesar dunia. Ini menjadi pertanyaan serius terhadap proses melemahnya kemandirian bangsa. Anehnya, tandas Ibrahim Sakty Baatubara, keadaan ini diperkuat lagi dengan adanya perubahan mekanisme impor beras, yakni Surat Menteri Perdagangan No. 1109/Dag/8/2007 yang isinya memberi keleluasaan kepada Bulog untuk mengimpor beras kapan saja.

Apa yang kemudian terjadi adalah proses yang mencemaskan. Mengutip data yang dibeberkan Mantan ketua HKTI (Himpunan Kerukunan Tani Indonesia) Siswono Yudo Husodo pada Kongres Ilmu Pengetahuan Nasional IX oleh LIPI, 22 Nov 2007 di Jakarta, Ibrahim Sakty Batubara menyebutkan bahwa Indonesia kini mengambil kebijakan mengutamakan impor, membuat petani semakin miskin karena insentif impor dinikmati petani negara mengeksport. Fakta dan angka impor pangan Indonesia menunjukkan 30 % kebutuhan gula nasional, 25 % kebutuhan daging sapi, 50 % kebutuhan atau sekitar 1 juta ton garam, 45 % kebuthan kedelai nasional, 10 % kebutuhan jagung, 15 % kebutuhan kacang tanah, 70 % kebutuhan susu, Bawang putih juga, dan 1,2 juta ton beras.

Badan dunia yang khusus mengurusi pangan (FAO) pada tahun 2000 menegaskan keyakinanya bahwa suatu negera-bangsa dengan jumlah penduduk lebih dari 100 juta orang tidak mungkin atau sulit untuk menjadi maju dan makmur bila kebutuhan pangannya bergantung pada impor. Salah satu penyebab ambruknya bekas negara adidaya Uni Sovyet ditengarai karena pemenuhan kebutuhan pangan bergantung pada pasokan dari negara-negara NATO. Menurut catatan ’nBASIS, Sekalipun sudah menjadi komitmen dunia, tiap warga berhak atas kecukupan pangan, baik kuantitas maupun kualitas, kini 1,3 milyar penduduk dunia bekerja pada sektor pertanian, dan 2,5 milyar menggantungkan hidupnya pada sektor pertanian. Di Indonesia, sekitar 85 % penduduk bekerja pada sektor ini.

Pertanian menjadi gantungan hidup dan penyedia pangan. Namun karena struktur ekonomi kapitalisme internasional sektor ini tetap tidak bisa menaikkan kualitas hidup petani. Fakta tentang itu tidak bisa dibantah. South Centre tahun 2005 memperkirakan 85-90 % perdagangan pangan dunia dikontrol oleh 5 perusahan transnational (TNCs). 75 % perdagangan serealia dikuasasi 2 TNCs. Dua TNCs menguasai 50 % perdagangan dan produksi pisang. Tak kurang dari 85 % perdagangan the hanya dikuasasi oleh 3 TNCs, 5 TNCs menguasasi 70 % produksi tembakau, 7 TNCs menguasai 83 % produksi dan perdagangan gula dan hanya 4 TNCs yang menguasai hampir 2/3 pasar pestisida, dan menguasai 100 % pasar global bibit transgenik. Mereka sangat mampu mengontrol harga input pertanian, mempraktekkan perjanjian jual beli yang amat tidak fair. Mereka berusaha membentuk harga kartel, mendepak perusahaan lokal dari pasar, dan membeli komoditas petani dengan harga super murah.

Noted & Reported by: Ikhtiyar ZNS,
Divisi Jaringan nBASIS